Kamis, 17 Januari 2019

Santri dan Krisis Literasi Kit

author photo

Santri dan Krisis Literasi Kita

Perbincangan di seputar santri dan diskursus kepesantrenan tidak bisa dilepaskan dari tradisi literasi. Kitab kuning, misalnya, yang ditulis dalam ‘Arab gundul’ dan biasa dipelajari dengan metode sorogan dan bendogan sesungguhnya adalah warisan budaya literasi para ulama terdahulu. Tidak hanya ulama-ulama Timur Tengah tetapi bahkan para hadratusyaikh (guru besar) Nusantara. Menariknya, karya para ulama Nusantara ini tidak hanya dipelajari oleh para santri di Indonesia tetapi juga di Timur Tengah, terima kasih pada komunitas Jawa yang sempat diperhitungkan di Tanah Hijaz pra-kekuasaan Kerajaan Arab Saudi dan hegemoni Salafi Wahabi.

Konten dari kitab-kitab kuning ini juga tidak terbatas dan dibatasi pada apa yang Imam al-Ghazali kategorikan sebagai ‘ilmu agama’ tetapi juga ilmu non-agama, karena dalam literasi kitab kuning para santri mengenal pula ilmu balaghah (ketatabahasaan) dan ilmu mantiq (filsafat dan nalar). Pola penulisan kitab kuning ini juga menarik karena pada banyak kasus, isinya adalah komentar atau penjabaran atas kitab-kitab lain. Atau sebaliknya: sebuah kitab ditulis sebagai ringkasan atas kitab lain yang jauh lebih lengkap. Kitab i’anatut tholibin, misalnya, adalah penjabaran dari kitab Fathul Mu’in.

Lebih menarik lagi, dalam kitab kuning kita bisa membaca dua versi. Versi matan dan versi syarah. Versi matan berisi ringkasan, versi syarah berisi penjabaran. Biasanya versi matan dipelajari secara hafalan melalui metode sorogan, versi syarah dipelajari melalui metode bendogan. Kedua metode ini memungkinkan santri memiliki prior knowledge yang cukup ketika mereka dihadapkan pada situasi-situasi yang menunut mereka menyampaikan argumen, gagasan, dalil, rujukan, dan bahkan fatwa. Apalagi ketika mereka mulai terjun di masyarakat.

Tinggal kemudian memperkuat proses banking pedagogy tersebut dengan kekuatan analisa, kemampuan bertanya kritis, berlilterasi, sehingga apa-apa yang dihafalkan secara tekstual mampu dimanifestasikan dan diuji secara kontekstual. Terbangunlah kemudiankultur qiyas dan ijtihad; di dalamnya terkandung kultur cek dan ricek, menguji validitas sanad dan kesahihan informasi/ilmu. Tanpa kultur tersebut, setidaknya melalui metode studi kasus dan diskusi ala bahtsul masail, kultur keilmuan pesantren akan terjebak pada fatwa-fatwa ilmiah ulama Abad Pertengahan yang tidak selalu harus relevan secara literlek dengan Indonesia 2018.

Padahal, pada kultur qiyas dan ijtihad inilah sebetulnya terletak kunci penggerak budaya literasi yang melahirkan dan mengayomi pesantren dan santri. Para ulama terbiasa menuliskan gagasan-gagasan mereka, ilmu-ilmu mereka, sehingga apa-apa yang mereka dapatkan dapat diserap dan dipelajari lintas zaman. Mereka tidak membatasi dakwah dan pengajaran mereka hanya pada majelis-majelis, sekolah-sekolah, halaqah-halaqah, atau bahkan pesantren-pesantren. Ketika Imam al-Ghazali berselisih pendapat dengan Ibnu Rushd, perselisihan mereka dimanifestasikan dalam buku-buku yang hari ini masih kita serap ilmu-ilmunya. Ketika Rumi ditinggal pergi Syam at-Tibirizi, Sufi agung Konya itu menulis Masnawi yang kedalaman sufismenya masih menginspirasi dan meliterasi spiritualitas kita hari ini.

Sayangnya, kultur literasi ini seperti tidak dirawat dan didorong lebih dan lebih maju lagi. Ada banyak kemungkinan penyebab. Misalnya, salah satunya, asumsi bahwa semua khazanah keilmuan Islam telah ‘khatam’ dan ‘sempurna’ sehingga pintu ijtihad sudah bisa ditutup. Padahal persoalan masyarakat kian kompleks dan beragam; hal-hal baru ditemukan; dan semuanya tidak bisa diselesaikan secara tekstual dengan kacamata Abad Pertengahan. Faktor lain adalah tidak semua kiai, ulama, ustaz, terbiasa menuliskan gagasan-gagasan mereka; merumuskan pemikiran-pemikiran mereka, sehingga ketika mereka meninggal, ilmu yang mereka miliki juga ikut pergi.

Karena itulah penting bagi para santri, dalam momentum Hari Santri Nasional, untuk belajar merumuskan apa yang dipelajari, menganalisa apa yang disorogankan dan dibendogankan, untuk kemudian menelaah persoalan masyarakat dan menuliskan gagasan-gagasannya sendiri. Kita butuh para santri yang mendobrak kemandegan budaya literasi dan kejumudan berpikir melalui penciptaan ‘kitab-kitab baru’ baik dalam bahasa Arab, dalam tulisan Arab pegon, mapun dalam pelbagai buku bacaan Islam yang ‘ngepop’ demi misi ‘santrinisasi Indonesia’.

Tentu saat ini para pendobrak itu sudah ada. Tradisi menulis karya ilmiah bahkan telah sangat kuat di Ponpes semisal Lirboyo, tetapi tradisi ini butuh diperluas cakupannya, perlu dibikin lebih scalable gemanya. Ada ribuan pesantren tetapi berapa yang secara rutin melahirkan ‘kitab-kitab’ atau ‘buku-buku’ yang memperkaya narasi dan diskursus keislaman kita? Yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dan kebutuhan spiritualitas umat?

Belum lagi, tantangan kita semakin besar mengingat perkembangan internet dan media telah menuntut literasi ini tidak terbatas hanya pada buku tetapi juga pada media dan bagaimana ia bekerja, bagaimana post-truth terbangun, bagaimana menganalisa informasi yang bertebaran secara masif tanpa selalu bisa dikontrol. Dari pondok, para santri harus belajar kembali pelajaran pertama yang diterima oleh Nabi kita: pelajaran membaca (kritis). Agar apa? Agar jikapun setidak-tidaknya dia tidak bisa ikut memperkaya khazanah bacaan dan kultur literasi kita, dia tidak termasuk orang yang tertipu politisasi agama, termakan jebakan hoax, terjajah logical fallacy akibat ketidaksigapan mempertanyakan, mengkritisi, dan terutama melakukan qiyas dan ijtihad.

Irfan L. Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah
Alumnus University College London

Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting

0 komentar


EmoticonEmoticon

Berita selanjutnya Berita selanjutnya
Berita sebelumnya Berita sebelumnya