Santri dan Krisis Literasi Kita
Perbincangan di seputar santri
dan diskursus kepesantrenan tidak bisa dilepaskan dari tradisi literasi. Kitab
kuning, misalnya, yang ditulis dalam ‘Arab gundul’ dan biasa dipelajari dengan
metode sorogan dan bendogan sesungguhnya adalah warisan
budaya literasi para ulama terdahulu. Tidak hanya ulama-ulama Timur Tengah
tetapi bahkan para hadratusyaikh (guru
besar) Nusantara. Menariknya, karya para ulama Nusantara ini tidak hanya
dipelajari oleh para santri di Indonesia tetapi juga di Timur Tengah, terima
kasih pada komunitas Jawa yang sempat diperhitungkan di Tanah Hijaz
pra-kekuasaan Kerajaan Arab Saudi dan hegemoni Salafi Wahabi.
Konten dari kitab-kitab kuning
ini juga tidak terbatas dan dibatasi pada apa yang Imam al-Ghazali kategorikan
sebagai ‘ilmu agama’ tetapi juga ilmu non-agama, karena dalam literasi kitab
kuning para santri mengenal pula ilmu balaghah
(ketatabahasaan) dan ilmu mantiq (filsafat
dan nalar). Pola penulisan kitab kuning ini juga menarik karena pada banyak
kasus, isinya adalah komentar atau penjabaran atas kitab-kitab lain. Atau
sebaliknya: sebuah kitab ditulis sebagai ringkasan atas kitab lain yang jauh
lebih lengkap. Kitab i’anatut tholibin, misalnya,
adalah penjabaran dari kitab Fathul
Mu’in.
Lebih menarik lagi, dalam kitab
kuning kita bisa membaca dua versi. Versi matan
dan versi syarah. Versi matan
berisi ringkasan, versi syarah berisi penjabaran. Biasanya versi matan
dipelajari secara hafalan melalui metode sorogan, versi syarah dipelajari melalui
metode bendogan. Kedua metode ini memungkinkan santri memiliki prior knowledge yang cukup ketika mereka
dihadapkan pada situasi-situasi yang menunut mereka menyampaikan argumen,
gagasan, dalil, rujukan, dan bahkan fatwa. Apalagi ketika mereka mulai terjun
di masyarakat.
Tinggal kemudian memperkuat
proses banking pedagogy tersebut
dengan kekuatan analisa, kemampuan bertanya kritis, berlilterasi, sehingga
apa-apa yang dihafalkan secara tekstual mampu dimanifestasikan dan diuji secara
kontekstual. Terbangunlah kemudiankultur qiyas
dan ijtihad; di dalamnya terkandung
kultur cek dan ricek, menguji validitas sanad dan kesahihan informasi/ilmu.
Tanpa kultur tersebut, setidaknya
melalui metode studi kasus dan diskusi ala bahtsul
masail, kultur keilmuan pesantren akan terjebak pada fatwa-fatwa ilmiah
ulama Abad Pertengahan yang tidak selalu harus relevan secara literlek dengan
Indonesia 2018.
Padahal, pada kultur qiyas dan ijtihad inilah sebetulnya terletak kunci penggerak budaya literasi
yang melahirkan dan mengayomi pesantren dan santri. Para ulama terbiasa
menuliskan gagasan-gagasan mereka, ilmu-ilmu mereka, sehingga apa-apa yang
mereka dapatkan dapat diserap dan dipelajari lintas zaman. Mereka tidak
membatasi dakwah dan pengajaran mereka hanya pada majelis-majelis,
sekolah-sekolah, halaqah-halaqah, atau bahkan pesantren-pesantren. Ketika Imam
al-Ghazali berselisih pendapat dengan Ibnu Rushd, perselisihan mereka
dimanifestasikan dalam buku-buku yang hari ini masih kita serap ilmu-ilmunya.
Ketika Rumi ditinggal pergi Syam at-Tibirizi, Sufi agung Konya itu menulis
Masnawi yang kedalaman sufismenya masih menginspirasi dan meliterasi
spiritualitas kita hari ini.
Sayangnya, kultur literasi ini
seperti tidak dirawat dan didorong lebih dan lebih maju lagi. Ada banyak
kemungkinan penyebab. Misalnya, salah satunya, asumsi bahwa semua khazanah
keilmuan Islam telah ‘khatam’ dan ‘sempurna’ sehingga pintu ijtihad sudah bisa ditutup. Padahal
persoalan masyarakat kian kompleks dan beragam; hal-hal baru ditemukan; dan
semuanya tidak bisa diselesaikan secara tekstual dengan kacamata Abad
Pertengahan. Faktor lain adalah tidak semua kiai, ulama, ustaz, terbiasa
menuliskan gagasan-gagasan mereka; merumuskan pemikiran-pemikiran mereka,
sehingga ketika mereka meninggal, ilmu yang mereka miliki juga ikut pergi.
Karena itulah penting bagi para
santri, dalam momentum Hari Santri Nasional, untuk belajar merumuskan apa yang
dipelajari, menganalisa apa yang disorogankan dan dibendogankan, untuk kemudian
menelaah persoalan masyarakat dan menuliskan gagasan-gagasannya sendiri. Kita
butuh para santri yang mendobrak kemandegan budaya literasi dan kejumudan
berpikir melalui penciptaan ‘kitab-kitab baru’ baik dalam bahasa Arab, dalam
tulisan Arab pegon, mapun dalam pelbagai buku bacaan Islam yang ‘ngepop’ demi
misi ‘santrinisasi Indonesia’.
Tentu saat ini para pendobrak itu
sudah ada. Tradisi menulis karya ilmiah bahkan telah sangat kuat di Ponpes
semisal Lirboyo, tetapi tradisi ini butuh diperluas cakupannya, perlu dibikin
lebih scalable gemanya. Ada ribuan
pesantren tetapi berapa yang secara rutin melahirkan ‘kitab-kitab’ atau
‘buku-buku’ yang memperkaya narasi dan diskursus keislaman kita? Yang mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan dan kebutuhan spiritualitas umat?
Belum lagi, tantangan kita
semakin besar mengingat perkembangan internet dan media telah menuntut literasi
ini tidak terbatas hanya pada buku tetapi juga pada media dan bagaimana ia
bekerja, bagaimana post-truth terbangun,
bagaimana menganalisa informasi yang bertebaran secara masif tanpa selalu bisa
dikontrol. Dari pondok, para santri harus belajar kembali pelajaran pertama
yang diterima oleh Nabi kita: pelajaran membaca (kritis). Agar apa? Agar
jikapun setidak-tidaknya dia tidak bisa ikut memperkaya khazanah bacaan dan
kultur literasi kita, dia tidak termasuk orang yang tertipu politisasi agama,
termakan jebakan hoax, terjajah logical
fallacy akibat ketidaksigapan mempertanyakan, mengkritisi, dan terutama melakukan
qiyas dan ijtihad.
Irfan L. Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah
Alumnus University College London
Associate Researcher Akar Rumput
Strategic Consulting
0 komentar
EmoticonEmoticon